Sabtu, 25 Februari 2017

BANDA ACEH, KOMPAS.com — Satu racikan sedap dan sangat diminati warga di Banda Aceh adalah campuran kopi dan susu kental manis. Bedanya dengan kopi susu biasa adalah minuman ini memiliki komposisi 3 banding 1 antara kopi dan susu. Kopinya pun haruslah kopi yang disaring dengan gaya khas barista saring, bukan menggunakan mesin kopi, apalagi espresso.

Hampir semua warung kopi di Kota Banda Aceh menyediakan menu kopi susu ala Aceh ini, namanya "sanger". Tetapi, nyaris tak ada pengunjung atau penikmat sanger di warung kopi yang tahu sejarah penamaan sanger untuk kopi susu dengan rasa nendang di lidah itu.

“Wah, saya tidak pernah tahu juga kenapa minuman ini dinamakan sanger, yang jelas ini sangat nikmat dan ada perbedaan yang sangat kentara begitu terasa di lidah,” jelas Auliya, penikmat kopi di Banda Aceh, Selasa (26/11/2013).

Menurut Auliya, dirinya mengenal minuman sanger sejak tahun 2008, ketika kembali ke Aceh, setelah sempat mengecap pendidikan di Ibu Kota Jakarta. “Nah, sejak itu saya kecanduan, tiada hari tanpa sanger,” ujarnya.

Hal senada juga dikatakan Deddy. Mahasiswa yang menjadikan warung kopi sebagai tempat tongkrongan "wajib"-nya setiap hari ini menjadikan sanger sebagai minuman sore harinya. “Rasanya asyik, bisa dikonsumsi panas atau dingin,” kata Deddy.

Nurul, seorang mahasiswi di Banda Aceh, menyebutkan, sanger adalah racikan kopi yang menjadi pilihan bagi kaum hawa. “Biasanya kan kalau perempuan jarang minum kopi hitam. Nah, minum sanger ini tidak mengurangi cita rasa kopi yang ada,” jelas Nurul.

Pengusaha Coffee Café Solong Mini di kawasan Lampineung Banda Aceh, Sarbaini, mengatakan, minuman sanger mulai dikenal di warung kopi sejak tahun 1990. Berawal dari keinginan sejumlah mahasiswa yang berkantong tipis, tetapi ingin menikmati minuman bercita rasa tinggi.

“Dulu, mahasiswa kan uang jajannya tidak banyak, tapi terkadang mereka ingin menikmati kopi dengan racikan susu. Katanya buat menambah vitamin. Alhasil, mereka mulai berkompromi dengan pemilik warung, dan minta sama-sama mengerti bahwa mahasiswa tidak punya banyak uang, tapi sesekali ingin minum kopi pakai susu,” jelas Sarbaini.

Nah, ungkapan “sama-sama ngerti” yang disingkat menjadi “sanger” inilah yang kemudian dijadikan istilah oleh para mahasiswa yang nongkrong di warung kopi Jasa Ayah, Solong Ulee Kareng, untuk bisa menikmati kopi plus susu.

“Karena uangnya sedikit, makanya susunya juga tidak banyak, hanya seperdelapan ukuran gelas saja, lalu diberi kopi yang disaring. Nah, air kopi dari saringan yang ditarik tinggi oleh barista saring itulah yang menciptakan cita rasa khas dari sanger,” jelas pria yang dikenal sebelumnya juga menjadi barista saring di Warung Kopi Jasa Ayah Solong Ulee Kareeng, Banda Aceh.

Meski misteri sanger tak terungkap di ajang Festival Kopi Aceh yang baru saja usai, tetapi sanger tetap menjadi pilihan utama selain racikan-racikan kopi lainnya. Harganya pun kini tetap masih bisa dijangkau oleh para penikmat kopi, hanya Rp 8.000 per gelasnya.
Nyang meubahgia sijahtra syahid dalam prang
Allah pulang dendayang beudiadari
Hoka siwa sirawa syahid dalam prang dan seunang
Dipeurap rijang peutamong syuruga tinggi


Darah nyang hanyi lah hanyi gadoh di badan
Geuboh le Tuhan ya Allah dengan kasturi
Dikamoe Aceh lah Aceh darah peujuang-peujuang
Neubri beu meunang ya Allah Aceh Merdeka

Sabtu, 18 Februari 2017

Kopi Ulee Kareng, Kopi Bubuk Cita Rasa Khas Aceh 1296028244294436870 Kopi Ulee Kareng Aroma kopi Aceh sudah sejak lama terkenal di Indonesia, mungkin pula di dunia. Aceh adalah salah satu penghasil kopi terbesar di negeri kepulauan ini. Tanah Aceh menghasilkan sekitar 40 persen biji kopi jenis Arabica tingkat premium dari total panen kopi di Indonesia. Dan Indonesia merupakan pengekspor biji kopi terbesar keempat di dunia. Bicara kopi Aceh pascatsunami, tak bisa lepas dari berdatangannya komunitas internasional di bumi Serambi Mekkah ini. Mayoritas mereka juga menyukai kopi Aceh. Tak kurang dari seorang Bill Clinton, yang mantan Presiden Amerika Serikat itu pun, mengagumi kopi Aceh. Dirintis sejak tahun 1960, kopi Ulee Kareng menjadi salah satu kopi bubuk lokal terkenal di Banda Aceh. Cita rasa khas Aceh adalah salah satu keunggulan dari kopi bubuk warisan keluarga ini. Mutu itu pula yang menjadikan kopi bubuk ulee kareng mampu bertahan hingga sekarang. Bahkan, kopi ini memiliki cita rasa yang identik dengan daerah asal kopi itu sendiri, seperti Pidie dan Banda Aceh. Ketenaran kopi Ulee Kareng sudah menyebar sampai ke Malaysia dan Singapura. Di Aceh, telah menjadi tradisi bagi kaum prianya untuk menikmati kopi di warung-warung. Jumlah warung kopi di Aceh, khususnya di Banda Aceh, sangat banyak. Warung kopi di Aceh tidak sama dengan warung kopi yang ada di Pulau Jawa, karena warung kopi di Aceh bentuknya seperti restoran. Dari sekian banyak warung kopi di Kota Banda Aceh, terdapat satu warung kopi yang sangat populer dan selalu dipenuhi pengunjung dari pagi hingga malam hari, yaitu warung kopi Ulee Kareng “Jasa Ayah” atau lebih dikenal dengan sebutan Solong. Warung kopi ini dimiliki oleh seorang pria Aceh yang bernama Nawawi. Sebelumnya warung kopi ini telah ada sejak tahun 1958, namun bukan dengan nama “Jasa Ayah”, yang dikelola oleh orang tua Nawawi, yang bernama Haji Muhammad. Bagi kaum lelaki Aceh, warung kopi tidak hanya sebagai tempat untuk menikmati secangkir kopi dan beberapa makanan khas Aceh lainnya, namun ia berkembang dengan fungsinya yang lebih luas, seperti fungsi sosial, yaitu sebagai tempat memperkuat ikatan solidaritas antar kelompok atau antar sahabat; fungsi politik, dijadikan tempat diskusi isu-isu politik dan pemerintahan baik tingkat lokal, nasional maupun internasional; dan fungsi ekonomi, yaitu sebagai tempat pertemuan dan lobi-lobi bisnis. 12960273602081383454 12960273602081383454 Bubuk Kopi Ulee Kareng yang sudah mendunia Di Banda Aceh, yang disebut warung kopi bentuknya hampir sama seperti restaurant. Bukan duduk di bangku kayu, melainkan di kursi plastik dengan sandaran yang memungkinkan orang yang menduduki bersandar dengan santainya. Kursinya pendek, tempat dudukannya sejajar dengan meja. Jadilah para penikmat kopi itu makin nikmat meneguk minuman pahit itu. Sambil menikmati kopi, di meja akan disuguhi beberapa jenis kudapan khas Aceh yang semua rasanya manis. Rupanya rasa ini menjadi favorit di sini. Kopinya sendiri, kebanyakan hadir dalam gelas kecil. Meskipun begitu, rasanya pas dan tidak terlalu pahit seperti espresso. Warung kopi “Jasa Ayah” tidak hanya populer di Aceh, namun juga di Indonesia. Kepopulerannya semakin bertambah pasca tsunami di Aceh, karena banyak pekerja nasional dan internasional yang berdatangan ke Aceh. Tidak hanya media massa nasional yang memuat berita tentang kekhasan aroma dan rasa kopi “Jasa Ayah”, namun juga media internasional. 129602777764334836 129602777764334836 Kopi Ulee Kareng, penuh citarasa Keistimewaan aroma dan rasanya berasal dari pengolahan kopi arabika yang jitu. Kopi itu didatangkan dari Lamno, Kabupaten Aceh Jaya. Diolah dengan cara-cara khusus dan penuh kesabaran, dan keuletan, mulai dari penyangraian (penggosengan) hingga penggilingan. Ketika kopi itu disangrai, apinya tidak boleh terlalu besar, karena dapat menyebabkan kegosongan. Setelah itu baru kopi digiling. Pada saat kopi itu akan disajikan, ia harus diseduh dengan air mendidih agar mengeluarkan aroma yang harum hingga beberapa meter dan barulah setelah itu disaring dan siap disajikan. Umumnya pengunjung yang menikmati kopi arabika “Jasa Ayah”, menikmatinya sambil menyantap hidangan khas Aceh lainnya, seperti kue sarikaya (asoe kaya), kue timpan, kue bolu, martabak telor, nasi gurih (bu guri -- di Jawa sering disebut nasi uduk) ataupun mie Aceh. (mhd)

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ydaffa/kopi-ulee-kareng-kopi-bubuk-cita-rasa-khas-aceh_55007614a333114a73510d69
Kopi Ulee Kareng, Kopi Bubuk Cita Rasa Khas Aceh 1296028244294436870 Kopi Ulee Kareng Aroma kopi Aceh sudah sejak lama terkenal di Indonesia, mungkin pula di dunia. Aceh adalah salah satu penghasil kopi terbesar di negeri kepulauan ini. Tanah Aceh menghasilkan sekitar 40 persen biji kopi jenis Arabica tingkat premium dari total panen kopi di Indonesia. Dan Indonesia merupakan pengekspor biji kopi terbesar keempat di dunia. Bicara kopi Aceh pascatsunami, tak bisa lepas dari berdatangannya komunitas internasional di bumi Serambi Mekkah ini. Mayoritas mereka juga menyukai kopi Aceh. Tak kurang dari seorang Bill Clinton, yang mantan Presiden Amerika Serikat itu pun, mengagumi kopi Aceh. Dirintis sejak tahun 1960, kopi Ulee Kareng menjadi salah satu kopi bubuk lokal terkenal di Banda Aceh. Cita rasa khas Aceh adalah salah satu keunggulan dari kopi bubuk warisan keluarga ini. Mutu itu pula yang menjadikan kopi bubuk ulee kareng mampu bertahan hingga sekarang. Bahkan, kopi ini memiliki cita rasa yang identik dengan daerah asal kopi itu sendiri, seperti Pidie dan Banda Aceh. Ketenaran kopi Ulee Kareng sudah menyebar sampai ke Malaysia dan Singapura. Di Aceh, telah menjadi tradisi bagi kaum prianya untuk menikmati kopi di warung-warung. Jumlah warung kopi di Aceh, khususnya di Banda Aceh, sangat banyak. Warung kopi di Aceh tidak sama dengan warung kopi yang ada di Pulau Jawa, karena warung kopi di Aceh bentuknya seperti restoran. Dari sekian banyak warung kopi di Kota Banda Aceh, terdapat satu warung kopi yang sangat populer dan selalu dipenuhi pengunjung dari pagi hingga malam hari, yaitu warung kopi Ulee Kareng “Jasa Ayah” atau lebih dikenal dengan sebutan Solong. Warung kopi ini dimiliki oleh seorang pria Aceh yang bernama Nawawi. Sebelumnya warung kopi ini telah ada sejak tahun 1958, namun bukan dengan nama “Jasa Ayah”, yang dikelola oleh orang tua Nawawi, yang bernama Haji Muhammad. Bagi kaum lelaki Aceh, warung kopi tidak hanya sebagai tempat untuk menikmati secangkir kopi dan beberapa makanan khas Aceh lainnya, namun ia berkembang dengan fungsinya yang lebih luas, seperti fungsi sosial, yaitu sebagai tempat memperkuat ikatan solidaritas antar kelompok atau antar sahabat; fungsi politik, dijadikan tempat diskusi isu-isu politik dan pemerintahan baik tingkat lokal, nasional maupun internasional; dan fungsi ekonomi, yaitu sebagai tempat pertemuan dan lobi-lobi bisnis. 12960273602081383454 12960273602081383454 Bubuk Kopi Ulee Kareng yang sudah mendunia Di Banda Aceh, yang disebut warung kopi bentuknya hampir sama seperti restaurant. Bukan duduk di bangku kayu, melainkan di kursi plastik dengan sandaran yang memungkinkan orang yang menduduki bersandar dengan santainya. Kursinya pendek, tempat dudukannya sejajar dengan meja. Jadilah para penikmat kopi itu makin nikmat meneguk minuman pahit itu. Sambil menikmati kopi, di meja akan disuguhi beberapa jenis kudapan khas Aceh yang semua rasanya manis. Rupanya rasa ini menjadi favorit di sini. Kopinya sendiri, kebanyakan hadir dalam gelas kecil. Meskipun begitu, rasanya pas dan tidak terlalu pahit seperti espresso. Warung kopi “Jasa Ayah” tidak hanya populer di Aceh, namun juga di Indonesia. Kepopulerannya semakin bertambah pasca tsunami di Aceh, karena banyak pekerja nasional dan internasional yang berdatangan ke Aceh. Tidak hanya media massa nasional yang memuat berita tentang kekhasan aroma dan rasa kopi “Jasa Ayah”, namun juga media internasional. 129602777764334836 129602777764334836 Kopi Ulee Kareng, penuh citarasa Keistimewaan aroma dan rasanya berasal dari pengolahan kopi arabika yang jitu. Kopi itu didatangkan dari Lamno, Kabupaten Aceh Jaya. Diolah dengan cara-cara khusus dan penuh kesabaran, dan keuletan, mulai dari penyangraian (penggosengan) hingga penggilingan. Ketika kopi itu disangrai, apinya tidak boleh terlalu besar, karena dapat menyebabkan kegosongan. Setelah itu baru kopi digiling. Pada saat kopi itu akan disajikan, ia harus diseduh dengan air mendidih agar mengeluarkan aroma yang harum hingga beberapa meter dan barulah setelah itu disaring dan siap disajikan. Umumnya pengunjung yang menikmati kopi arabika “Jasa Ayah”, menikmatinya sambil menyantap hidangan khas Aceh lainnya, seperti kue sarikaya (asoe kaya), kue timpan, kue bolu, martabak telor, nasi gurih (bu guri -- di Jawa sering disebut nasi uduk) ataupun mie Aceh. (mhd)

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ydaffa/kopi-ulee-kareng-kopi-bubuk-cita-rasa-khas-aceh_55007614a333114a73510d69
Kopi Ulee Kareng, Kopi Bubuk Cita Rasa Khas Aceh 26 Januari 2011 07:44:01 Diperbarui: 26 Juni 2015 09:10:46 Dibaca : 3,530 Komentar : 8 Nilai : 0 Durasi Baca : 2 menit Kopi Ulee Kareng, Kopi Bubuk Cita Rasa Khas Aceh 1296028244294436870 Kopi Ulee Kareng Aroma kopi Aceh sudah sejak lama terkenal di Indonesia, mungkin pula di dunia. Aceh adalah salah satu penghasil kopi terbesar di negeri kepulauan ini. Tanah Aceh menghasilkan sekitar 40 persen biji kopi jenis Arabica tingkat premium dari total panen kopi di Indonesia. Dan Indonesia merupakan pengekspor biji kopi terbesar keempat di dunia. Bicara kopi Aceh pascatsunami, tak bisa lepas dari berdatangannya komunitas internasional di bumi Serambi Mekkah ini. Mayoritas mereka juga menyukai kopi Aceh. Tak kurang dari seorang Bill Clinton, yang mantan Presiden Amerika Serikat itu pun, mengagumi kopi Aceh. Dirintis sejak tahun 1960, kopi Ulee Kareng menjadi salah satu kopi bubuk lokal terkenal di Banda Aceh. Cita rasa khas Aceh adalah salah satu keunggulan dari kopi bubuk warisan keluarga ini. Mutu itu pula yang menjadikan kopi bubuk ulee kareng mampu bertahan hingga sekarang. Bahkan, kopi ini memiliki cita rasa yang identik dengan daerah asal kopi itu sendiri, seperti Pidie dan Banda Aceh. Ketenaran kopi Ulee Kareng sudah menyebar sampai ke Malaysia dan Singapura. Di Aceh, telah menjadi tradisi bagi kaum prianya untuk menikmati kopi di warung-warung. Jumlah warung kopi di Aceh, khususnya di Banda Aceh, sangat banyak. Warung kopi di Aceh tidak sama dengan warung kopi yang ada di Pulau Jawa, karena warung kopi di Aceh bentuknya seperti restoran. Dari sekian banyak warung kopi di Kota Banda Aceh, terdapat satu warung kopi yang sangat populer dan selalu dipenuhi pengunjung dari pagi hingga malam hari, yaitu warung kopi Ulee Kareng “Jasa Ayah” atau lebih dikenal dengan sebutan Solong. Warung kopi ini dimiliki oleh seorang pria Aceh yang bernama Nawawi. Sebelumnya warung kopi ini telah ada sejak tahun 1958, namun bukan dengan nama “Jasa Ayah”, yang dikelola oleh orang tua Nawawi, yang bernama Haji Muhammad. Bagi kaum lelaki Aceh, warung kopi tidak hanya sebagai tempat untuk menikmati secangkir kopi dan beberapa makanan khas Aceh lainnya, namun ia berkembang dengan fungsinya yang lebih luas, seperti fungsi sosial, yaitu sebagai tempat memperkuat ikatan solidaritas antar kelompok atau antar sahabat; fungsi politik, dijadikan tempat diskusi isu-isu politik dan pemerintahan baik tingkat lokal, nasional maupun internasional; dan fungsi ekonomi, yaitu sebagai tempat pertemuan dan lobi-lobi bisnis. 12960273602081383454 12960273602081383454 Bubuk Kopi Ulee Kareng yang sudah mendunia Di Banda Aceh, yang disebut warung kopi bentuknya hampir sama seperti restaurant. Bukan duduk di bangku kayu, melainkan di kursi plastik dengan sandaran yang memungkinkan orang yang menduduki bersandar dengan santainya. Kursinya pendek, tempat dudukannya sejajar dengan meja. Jadilah para penikmat kopi itu makin nikmat meneguk minuman pahit itu. Sambil menikmati kopi, di meja akan disuguhi beberapa jenis kudapan khas Aceh yang semua rasanya manis. Rupanya rasa ini menjadi favorit di sini. Kopinya sendiri, kebanyakan hadir dalam gelas kecil. Meskipun begitu, rasanya pas dan tidak terlalu pahit seperti espresso. Warung kopi “Jasa Ayah” tidak hanya populer di Aceh, namun juga di Indonesia. Kepopulerannya semakin bertambah pasca tsunami di Aceh, karena banyak pekerja nasional dan internasional yang berdatangan ke Aceh. Tidak hanya media massa nasional yang memuat berita tentang kekhasan aroma dan rasa kopi “Jasa Ayah”, namun juga media internasional. 129602777764334836 129602777764334836 Kopi Ulee Kareng, penuh citarasa Keistimewaan aroma dan rasanya berasal dari pengolahan kopi arabika yang jitu. Kopi itu didatangkan dari Lamno, Kabupaten Aceh Jaya. Diolah dengan cara-cara khusus dan penuh kesabaran, dan keuletan, mulai dari penyangraian (penggosengan) hingga penggilingan. Ketika kopi itu disangrai, apinya tidak boleh terlalu besar, karena dapat menyebabkan kegosongan. Setelah itu baru kopi digiling. Pada saat kopi itu akan disajikan, ia harus diseduh dengan air mendidih agar mengeluarkan aroma yang harum hingga beberapa meter dan barulah setelah itu disaring dan siap disajikan. Umumnya pengunjung yang menikmati kopi arabika “Jasa Ayah”, menikmatinya sambil menyantap hidangan khas Aceh lainnya, seperti kue sarikaya (asoe kaya), kue timpan, kue bolu, martabak telor, nasi gurih (bu guri -- di Jawa sering disebut nasi uduk) ataupun mie Aceh. (mhd)

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ydaffa/kopi-ulee-kareng-kopi-bubuk-cita-rasa-khas-aceh_55007614a333114a73510d69
Kopi Ulee Kareng, Kopi Bubuk Cita Rasa Khas Aceh 26 Januari 2011 07:44:01 Diperbarui: 26 Juni 2015 09:10:46 Dibaca : 3,530 Komentar : 8 Nilai : 0 Durasi Baca : 2 menit Kopi Ulee Kareng, Kopi Bubuk Cita Rasa Khas Aceh 1296028244294436870 Kopi Ulee Kareng Aroma kopi Aceh sudah sejak lama terkenal di Indonesia, mungkin pula di dunia. Aceh adalah salah satu penghasil kopi terbesar di negeri kepulauan ini. Tanah Aceh menghasilkan sekitar 40 persen biji kopi jenis Arabica tingkat premium dari total panen kopi di Indonesia. Dan Indonesia merupakan pengekspor biji kopi terbesar keempat di dunia. Bicara kopi Aceh pascatsunami, tak bisa lepas dari berdatangannya komunitas internasional di bumi Serambi Mekkah ini. Mayoritas mereka juga menyukai kopi Aceh. Tak kurang dari seorang Bill Clinton, yang mantan Presiden Amerika Serikat itu pun, mengagumi kopi Aceh. Dirintis sejak tahun 1960, kopi Ulee Kareng menjadi salah satu kopi bubuk lokal terkenal di Banda Aceh. Cita rasa khas Aceh adalah salah satu keunggulan dari kopi bubuk warisan keluarga ini. Mutu itu pula yang menjadikan kopi bubuk ulee kareng mampu bertahan hingga sekarang. Bahkan, kopi ini memiliki cita rasa yang identik dengan daerah asal kopi itu sendiri, seperti Pidie dan Banda Aceh. Ketenaran kopi Ulee Kareng sudah menyebar sampai ke Malaysia dan Singapura. Di Aceh, telah menjadi tradisi bagi kaum prianya untuk menikmati kopi di warung-warung. Jumlah warung kopi di Aceh, khususnya di Banda Aceh, sangat banyak. Warung kopi di Aceh tidak sama dengan warung kopi yang ada di Pulau Jawa, karena warung kopi di Aceh bentuknya seperti restoran. Dari sekian banyak warung kopi di Kota Banda Aceh, terdapat satu warung kopi yang sangat populer dan selalu dipenuhi pengunjung dari pagi hingga malam hari, yaitu warung kopi Ulee Kareng “Jasa Ayah” atau lebih dikenal dengan sebutan Solong. Warung kopi ini dimiliki oleh seorang pria Aceh yang bernama Nawawi. Sebelumnya warung kopi ini telah ada sejak tahun 1958, namun bukan dengan nama “Jasa Ayah”, yang dikelola oleh orang tua Nawawi, yang bernama Haji Muhammad. Bagi kaum lelaki Aceh, warung kopi tidak hanya sebagai tempat untuk menikmati secangkir kopi dan beberapa makanan khas Aceh lainnya, namun ia berkembang dengan fungsinya yang lebih luas, seperti fungsi sosial, yaitu sebagai tempat memperkuat ikatan solidaritas antar kelompok atau antar sahabat; fungsi politik, dijadikan tempat diskusi isu-isu politik dan pemerintahan baik tingkat lokal, nasional maupun internasional; dan fungsi ekonomi, yaitu sebagai tempat pertemuan dan lobi-lobi bisnis. 12960273602081383454 12960273602081383454 Bubuk Kopi Ulee Kareng yang sudah mendunia Di Banda Aceh, yang disebut warung kopi bentuknya hampir sama seperti restaurant. Bukan duduk di bangku kayu, melainkan di kursi plastik dengan sandaran yang memungkinkan orang yang menduduki bersandar dengan santainya. Kursinya pendek, tempat dudukannya sejajar dengan meja. Jadilah para penikmat kopi itu makin nikmat meneguk minuman pahit itu. Sambil menikmati kopi, di meja akan disuguhi beberapa jenis kudapan khas Aceh yang semua rasanya manis. Rupanya rasa ini menjadi favorit di sini. Kopinya sendiri, kebanyakan hadir dalam gelas kecil. Meskipun begitu, rasanya pas dan tidak terlalu pahit seperti espresso. Warung kopi “Jasa Ayah” tidak hanya populer di Aceh, namun juga di Indonesia. Kepopulerannya semakin bertambah pasca tsunami di Aceh, karena banyak pekerja nasional dan internasional yang berdatangan ke Aceh. Tidak hanya media massa nasional yang memuat berita tentang kekhasan aroma dan rasa kopi “Jasa Ayah”, namun juga media internasional. 129602777764334836 129602777764334836 Kopi Ulee Kareng, penuh citarasa Keistimewaan aroma dan rasanya berasal dari pengolahan kopi arabika yang jitu. Kopi itu didatangkan dari Lamno, Kabupaten Aceh Jaya. Diolah dengan cara-cara khusus dan penuh kesabaran, dan keuletan, mulai dari penyangraian (penggosengan) hingga penggilingan. Ketika kopi itu disangrai, apinya tidak boleh terlalu besar, karena dapat menyebabkan kegosongan. Setelah itu baru kopi digiling. Pada saat kopi itu akan disajikan, ia harus diseduh dengan air mendidih agar mengeluarkan aroma yang harum hingga beberapa meter dan barulah setelah itu disaring dan siap disajikan. Umumnya pengunjung yang menikmati kopi arabika “Jasa Ayah”, menikmatinya sambil menyantap hidangan khas Aceh lainnya, seperti kue sarikaya (asoe kaya), kue timpan, kue bolu, martabak telor, nasi gurih (bu guri -- di Jawa sering disebut nasi uduk) ataupun mie Aceh. (mhd)

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ydaffa/kopi-ulee-kareng-kopi-bubuk-cita-rasa-khas-aceh_55007614a333114a73510d69
Merdeka.com - Seorang Q-Grader kopi Aceh mengungkapkan rahasia kenikmatan kopi Aceh. Dia memberi pesan kepada generasi muda penikmat kopi agar tidak meninggalkan kopi saring yang membuat kopi Aceh terasa nikmat. Kopi saring adalah kopi tradisional Aceh yang disajikan secara klasik di Aceh.

"Kopi Aceh itu kopi saring, itu jangan sampai hilang, itu kopi tradisional kita," kata Q-Grader, Mahdi dalam diskusi di Festival Kopi di Banda Aceh, Minggu (24/11).

Menurut dia, generasi muda di Aceh agar jangan terlena hanya dengan espresso, sehingga lupa akan cara pembuatan kopi tradisional Aceh. Dia mengakui semua kopi itu nikmat, tapi penting sekali mempertahankan kekhasan kopi Aceh dengan cara disaring. "Kadangkala, bukan rasanya yang dinikmati oleh penikmat kopi, tapi juga bisa kita jual bagaimana cara menyajikannya seperti kopi saring yang tidak ada di tempat lain," tuturnya.

Selain itu, di Aceh juga memiliki cara minum kopi lainnya, sebutnya, ada juga minum kopi secara tubruk. Minum kopi tubruk justru lebih unik lagi, karena minum kopi tubruk tidak disaring.

"Kalau di Aceh Selatan, kopi tubruk itu justru lebih unik, kopi tubruk diminum dengan gelas terbalik," imbuhnya.

Sementara itu, Mahdi juga menyebutkan jangan takut minum kopi. Akan tetapi yang harus ditakuti kopi apa yang diminum. Kalau kopi asli Aceh seperti Arabika dan Robusta diminum akan aman untuk kesehatan.

"Yang bermasalah ketika diminum kopi palsu, kopi yang bijinya berlubang karena dimakan ulat, ulat saja bisa mati, apa lagi manusia kalau kita minum, jadi jangan minum kopi murah, karena kita curiga itu kopi yang tidak baik," tuturnya.

Mahdi berpesan jangan takut minum kopi, tetapi jangan minum kopi yang berlebihan. Minum kopi yang sehat, kata Mahdi adalah adalah minum kopi dengan takaran 120 sampai dengan 150 kafein per hari.

Terkait efek tidak bisa tidur setelah minum kopi, Mahdi menjelaskan bohong kalau ada yang mengatakan setelah minum kopi langsung tidak bisa tidur. "Jadi selesai minum kopi, itu berefek 3 sampai dengan 3,5 jam kemudian," tambahnya. [tts]

Rabu, 04 Mei 2011

TENTANG KOPI ACEH



delvis66 - 03-16-2011 02:24 PM

Benarkah Kopi di Aceh Campur Biji Ganja?
Kopi, bagi sebagian pria dan wanita merupakan minuman pengisi waktu dan sudah sangat akrab. Di Eropa budaya minum kopi sudah ada sejak berabad-abad lalu, menjadi trend menyambut tamu dan sahabat dalam pertemuan informil, mereka istilahkan “coffee morning” atau ” Coffee Party”..
Di seluruh Indonesia, kopi sudah merupakan minuman pelengkap rumah tangga dan minuman sehari-hari. Lihat ,di seluruh kota-kota besar Indonesia bagaiamana tumbuh berjamurnya Restoran buat ngopi dengan konsep modern, menawarkan ngopi seperti di rumah sendiri.,asik sekali…
Di Aceh, kopi juga menjadi minuman yang sangat akrab. Semua deretan warung kopi kelas kedai di kaki lima hingga restoran menengah ke atas, pasti menyediakan kopi untuk pengunjungnya.
Bagi Anda yang pernah bertugas di Aceh (di manapun) tentu dapat merasakan dan melihat pengalaman tersebut. Orang tidak perduli, kopi jenis Robusta atau Arabica. Pokoknya, mau minum kopi, aja…
Di sebuah sudut kota Banda Aceh, ada sebuah tempat terkenal untuk minum kopi, daerah itu di sebut Ulee Kareng. Di situ ada sebuah warung kopi sangat ramai dikunjungi oleh peminat kopi. Entah kenapa pengunjung lebih enjoy minum kopi di situ, padahal di seantero kota Banda Aceh dan sekitarnya banyak terdapat warung kopi mulai kelas kaki lima hingga kelas restoran. Apakah karena suasana dalam kedai -seluas 15 x 20 m- itu bernuansa kekeluargaan atau kekerabatan atau juga karena boleh duduk dengan sebebas-bebasnya dan selama-lamanya, atau karena cita rasa yang berbeda, semua jawaban tersebut. tepat..!
Benar, saya pernah mengunjungi Kedai kopi tersebut. Suatu kali pada jam 17.00 sore saya memesan secangkir kopi (ukuran gelas kecil, seperti biasa buat ngopi).. Saya memesan dengan syarat : Kopinya encer dan disaring, supaya tidak terikut sebuk bubuk kopinya.
Diselingi makanan ringan khas Aceh ditambah cerita ngawur ngidul, merayap kemana-mana, membuat acara minum kopi tersebut makin mantap. Tanpa terasa sudah hampir 2 jam nongkrong di kedai kopi tersebut. Akhirnya kopi habis, lantas saya pulang.
Malam pun tiba, saya coba tidur jam 22.00.. Mata tidak dapat terpejam, pikiranpun ngelantur kemana-mana. Saya tidak bisa tidur.. Kepala terasa pusing, padahal saya juga makan malam, dengan nasi beberapa jam sebelumnya.
Saya tidak yakin penyebab saya tidak bisa tidur adalah akibat minum kopi. Ketika saya utarakankan kepada rekan-rekan tentang hal ini mereka malahan tertawa.. Ada apakah gerangan??. Lalu saya pun melakukan penyelidikan dan uji coba selama beberapa kali selama 1 bulan.
Hasil survey..?. Benar.. beberapa kali saya berkunjung ke kedai itu, selesai minum kopi sepulang dari kedai itu saya tidak bisa tidur… Uniknya, jika saya ngopi jam 10.00 pagi/siang, saya bisa bekerja dengan lebih fokus dan semangat. Ke dua pengalaman ini saya tanyakan kepada rekan saya kembali. Jawaban yang saya terima tidak mengagetkan, katanya tidak ada kandungan ganja dalam kopi tersebut.
Uniknya, rekan-rekan saya (juga peminum kopi rutin) yang datang dari Luar Kota dan saya bawa ke Kedai/warung tersebut, dia juga mengalami pengalaman yang sama : Malamnya tidak bisa tidur.. Akhirnya saya ingin tahu, apa yang terkandung dalam “benda” (kopi) tersebut??. Jangan-jangan dicampur biji ganja atau ada bahan mengandung pengawet di dalamnya, begitu bisik hati saya…
Terlepas apakah ada tidaknya kandungan ganja dalamkopi aceh, di dalam kopi ada mengandung semacam zat kimia yang paling dominan, yaitu: kafein. Zat ini dikenal dengan sebutan Trymetilsantin. Jika zat ini berada dalam tubuh dia akan menstimulir pusat saraf reseptor Adenosin.
Jika simpul saraf ini sudah terangsang maka secara otomatis terjadi katabolisme sehingga memicu terbentuklah hormon Adrenalin. Nah… hormon inilah yang membuat tubuh dan semangat kita terasa segar kembali alias tidak bisa ngantuk sementara waktu.
Semakin berkualitas mutu kopinya akan semakin tinggi juga kadar kafein dan makin cepat/ hebat membentuk hormon adrenalin tadi.
Di Aceh, selain di Gayo, kopi Robusta produksinya minim sekali. Mutu kopi ini sepertinya sangat tinggi. Selain Robusta,kopi Arabica dari Gayo dan di 6 daerah lainnya di Indonesia, (Toraja, Kintamani, Mangkuraja-Bengkulu, Malang, Sidikalang) mutu kopinya termasuk terbaik di Dunia…
Kopi, jika diminum takaran rendah ada positifnya. Dan jika diminum takaran tinggi (intensitasnya) ada juga dampak negatifnya.
Dampak Positif kopi adalah :
1. Kafein. selama dikonsumsi dalam kadar rendah berfungsi sebagai penambah stamina dan mengurangi rasa sakit.
2. Kafein berfungsi menstimulir kerja jantung dan meningkatkan produksi air seni/ Urin.
3. Mengurangi rasa sakit kepala dan melindungi kelopak mata,
4. Jika sudah ketergantungan menyebabkan mudah lelah dan depresi.
5. Minum lebih dri 6 kali sehari dapat menyebakan kerusakan pada dinding pembuluh darah.
Dampak NEGATIF kopi adalah:
1. Meingkatkan resiko Stroke.
2. Pada wanita hamil,konsumsi kopi yang tinggi ( >3 x sehari) bisa menganggu kestabilan emosional dengan berbagai dampak psikis.
3. Menyebabkan penggelembungan pada pemburluh darah, akibat dinding pembuluh darah pecah/ atau tersumbat.
4. Pencetus Insomania, Migran dan tensi darah tidak stabil. Dll.
Mengenai keberadaan kafein di dalam minuman kopi, ternyata kafein itu juga memberi dampak positif, antara lain menyebabkan mata dan energi di otak tidak mengirim pesan mengantuk. Kafein menimbulkan perasaan segar, jantung berdetak lebih kencang, tekanan darah naik dan otot otot terangsang untuk berkontraski. Hati berkerja menyalurkan gula ke darah, sehingga membentuk tambahan energi buat kita.
JIka mengacu kepada komposisi yang terkandung dalam kopi dan cara kerja kopi dalam tubuh kita, yang berfungsi sebagaimana tersebut di atas maka dugaan Kopi Aceh mengandung biji Ganja dapat diabaikan, atau tegasnya : TIDAK BENAR 99%.
Kemana yang 1% lagi??.. Jika ada beberapa orang yang menginginkan dalam kopinya mengandung zat adiktif, itu adalah selera per individu saja, bukan tawaran untuk umum dan bukan untuk diperdagangkan.
Lagian buat apa menambah zat sejenis psikotropika di dalam kopi.. Tanpa zat itu saja sudah bikin mata kita melek tidak karuan, konon lagi menambah kandungan psikotropika bisa-bisa melek seperti apa tuh??…
Apakah Anda suka minum kopi?? Coba deh sekali-sekali, apalagi jika Anda sedang menantikan tayangan kesayangan Anda.
Jadi boleh saja minum kopi asal tidak berlebihan. dan tentunya bagi yang memang doyan ngopi.

Cut Nyak dan Keude Kupi


Susita - Opini

SAYA jadi teringat kata seorang teungku, ada dua kitab, yang kalau dibuka maka ia tidak akan habis untuk dibahas. Semakin banyak saja yang akan dibahas. Sedikit susah untuk diakhiri dan ditutup. Dua kitab itu adalah seputar alam ghaib (jin, hantu dan apa yang terkait dengannya) dan dunia wanita dengan apa saja yang terkait dengannya.

Pesan teuku tadi seakan menjadi kenyataan jika kita perhatian rubrik Opini Serambi Indonesia akhir-akhir ini, tulisan tentang wanita, Inong Aceh, dengan berbagai judul seperti, “Prostitusi Aceh Year 2011” (Serambi Indonesia, 26/05/2011) oleh Mahyal De Mila, “Inong Bak Keude Kupi” (Serambi Indonesia, 27/04/2011) oleh Azwardi, “Wisata tanpa Prostitusi” (Serambi Indonesia, 28/04/2011) oleh Yuli Rahmad, dan yang terakhir “Hikayat Inong Keude Kupi” (Serambi Indonesia, 30/04/2011) oleh Jufrizal. 

Pembahasan tentang ureung inong dan keude kupi masih saja hangat. Konon lagi yang bicara adalah laki-laki. Maka itu saya sebagai wanita pun terusik untuk bicara tentang kaum “Inong Aceh”.

Semangat saya semakin menggelora ketika membaca tulisan saudara Jufrizal berjudul “Hikayat Inong Keude Kupi (Serambi Indonesia, 30/04/2011). Menurut saya siapa pun yang bicara tentang wanita harus melihat secara konprehensif, tidak parsial. Banyak hal wanita yang terkait dengan budaya, sejarah, eksistensi, syariat, budaya dan harga diri (muru’ah).

Begitupun bicara gender equality (keteraan jender) dan emansipasi wanita, mestilah arif dan bijaksana. Kita harus pandai melihat mana yang baik dan buruk. Setelah memilih yang baik pun harus dilanjutkan mana yang boleh dan tidak boleh. Tidak semua yang baik itu boleh menurut adat budaya setempat dan boleh menurut agama. Hal ini penting karena adat Aceh dan hukum Islan menyatu bagai dzat ngoen sifet. Lebih penting lagi di saat moto Visit Banda Aceh Year 2011, adalah “toward to the gate of Islamic distenation”. Banda Aceh gerbang Bandar wisata islami”.  

Islam adalah agama yang arif dan bijaksana. Semua boleh dilakukan dalam Islam, kecuali yang dilarang dalam Alquran dan hadis. Namun demikian ada perihal yang terlarang, tapi Islam masih membolehkan (rukhsah) pada kondisi tertentu. Dengan kata lain, dalam Islam ini hampir 80% perbuatan dan pilihan kita yang dibolehkan dalam Islam, termasuk yang dilarang pun masih boleh dilakukan dengan catatan dalam kondisi tertentu. 

Namun sebelum kita kembali membahas inong di kedai kopi Aceh, mari kita lihat fenomena kedai kopi di belahan dunia lainnya. Kalau Jufrizal pernah keluar negeri, atau mendengar cerita kedai kopi dari orang yang pernah keluar negeri. Maka akan tahulah kalau coffee shop, “Starbruk”, “White Cofee”, warung kopi hampir wujud di setiap belahan dunia. Dengan fenomena yang tidak jauh berbeda. Berfungsi sama sebagai tempat santai, “kongkow”, meeting formal atau informal, tempat rileks dan “makan angin”. Bahkan di Aceh bisa menjadi kantor kedua setelah atau sebelum kantor formal dia bekerja. Fungi dan peran kedai kupi di seluruh tempat tidak jauh berbeda. Baik di belahan dunia Barat ataupun Timur, Eropa atau Timur Tengah, Amerika atau Asia. Semua hampir serupa.

Namun perlu sedikit arif dalam melihat keude kupi dalam konteks dan “ureung inong” dalam bingkai ke-Aceh-an. Mungkin kedai kopi di belahan dunia Timur dan Barat sama fungsinya namun berbeda fenomena budaya di masing-masing daerah. Bisa jadi hal ini dipengaruhi idiologi agama yang dominan di suatu tempat. Di Barat hal biasa kalau cafee dipenuhi dua jenis manusia berbeda dalam satu waktu, laki dan perempuan sama hak untuk menikmati apa saja di cafee. 

Dan laki-perempuan boleh berbuat apa saja yang dikehendaki selama tidak mengganggu privasi orang lain. Hal demikian tidak kita jumpai di cafee dan keude kupi di belahan Timur yang dominan dengan budaya ketimuran. 

Nah begitu juga halnya dalam kita melihat keberadaan inong di keude kupi Aceh. Saya setuju dengan Jufrizal, bukan tidak boleh mereka berada di keude kupi. Namun saudara Jufrizal perlu sedikit arif dalam melihat fenomena di mana kita berada. Seperti kata pepatah “di mana bumi dipijak di situ langit dijungjung”.

Dalam budaya Aceh, bukan tidak boleh ureung inong berada di keude kupi, namun dengan sebab ada hajat yang mendesak, seperti membeli suatu keperluan, menghadiri acara formal. Keberadaannya yang tepaksa, karena tidak dapat atau tidak sama jika hal tersebut dilakukan di tempat lain. Sekali lagi masyarakat Aceh bisa mafhum karena kondisi terpaksa dan bukan dipaksakan.

Jadi inong di keude kupi Aceh boleh saja, dengan catatan dia bukan untuk dibiasakan demikian sehingga jadi budaya yang tidak lazim bagi orang Aceh. Karena budaya “duek” di keude kupi sudah menjadi budaya lelaki, dan semakin baik kalau terus dilanggengkan karena di situ bisa bicara lepas tanpa batas. Tanpa formalitas dan bahan terbatas. 

Saya khawatir kalau menjadi budaya anak inong duek di keude kupi. Sehinga seorang inong jadi ikon keude kupi dan ia selalunya hadir, dan mesti. Sehingga tidak sempurna kalau tidak demikian. Budaya ini lazim kalu kita lihat di keude kupi dalam masyarakat Barat yang jauh berbeda dengan budaya kita yang Islami. 

Begitu juga, sunguh tidak arif ketika Jufrizal memberi contoh semangat pahlawan wanita Aceh, Cut Nyak Dhien, secara parsial. Jufrizal hanya melihat semangat Cut Nyak Dhien keluar rumah bergabung dengan pasukan laki-laki dalam medan petempuran bagian dari bentuk emansipasi semata. Selanjutnya disamakan dengan kondisi masa ini. Di saat para inong Aceh yang keluar rumah dan bergabung dengan laki-laki di keude kupi, dengan mengabaikan budaya dan aktivitas yang dilakukan.  

Alangkah lebih arif kalau Jufrizal melihat secara menyeluruh alasan dan fungsi Cut Nyak Dhien keluar memimpin pasukan tempur bersama laki-laki saat itu. Bukalah kembali buku sejarah peperangan Aceh, bagaimana sejarah menoreh semangat kepahlawanan Cut Nyak Dhien, beliau menjadi pemimpin pasukan berperang melawan penjajah “kaphee Belanda”, di tengah kaum adam. Beliau keluar memimpim pasukan karena pada saat itu telah banyak paglima perang lelaki yang “syahid” di medan perang. Dua di antara panglima perang Aceh tersebut adalah suaminya. Hampir saja pertempuran terhenti. Melihat kondisi genting saat itu, tidak ada lelaki yang mau melanjutkan perang, maka sang wanita tangguh Cut Nyak Dhien keluar kehadapan membakar semangat pertempuran yang hampir padam sebagai cambuk motivasi bagi masyarakat Aceh yang Islami saat itu. Lihatlah betapa Cut Nyak Dhien tetap memegang hukum syara’ dalam keadaan pedih sekali pun. Ia tetap tidak mau bersentuhan dan dipegang oleh laki-laki apalagi orang kaphee penjajah Belanda saat harus dipapah dibuang kepengasingannya.

Semangat menjalankan hukum syariat oleh Cut Nyak Dhien perlu diutarakan, agar permisalannya menjadi seimbang dan kofrehensif,  tidak terpengal dan parsial. Sehingga dalam menjadikan Cut Nyak Dhien sebagai figur perempuan Aceh yang berani, shalehah, emansipatif, kesetaraan gender (gender equality) dan bermaru’ah (harga diri) jadi sempurna. Semangat seperti ini hal yang mesti dibanggakan dan dicontoh oleh “inong Aceh”, atau perempuan mana pun  ketika berada di mana pun, apalagi di “keude kupi Aceh”. 

Menjadi arif suatu tulisan tentang inong di keude kupi kalau dibahas dalam kaca mata adat budaya Aceh bukan dengan kacamata budaya Barat yang berbeda dengan budaya Timur. Apalagi di Aceh sedang dihangatkan dengan pelaksanaan Syariat Islam. Walaupun hal tersebut perlu terus dikritisi dengan semangat keaslian adat dan hukum Aceh bersyariat. Hal tersebut mesti kita lakukan kalau tidak ingin adat-istiadat Aceh hilang dari bumi Iskandar Muda. Seperti petuah nektu sang diraja mulia Iskandar Muda, “matee aneuk meupat jeurat matee adat pat tamita.